Saturday, February 10, 2018

MENYEMBAH TUHAN YANG TAK BERTEMPAT


Banyak penganut materialisme yang tak mampu menjangkau bagaimana rasanya menyembah Tuhan yang tak bertempat sebab bagi nalar sempit mereka, sosok yang tak bertempat di ruang manapun berarti sosok yang tak wujud.

Nalar materialisme mereka membayangkan bahwa Tuhan sekalipun harus ada dalam batasan arah atau ruang. Jadi jangan heran kalau mereka sibuk menyanggah para Jahmiyah (yang sebenarnya sudah lama musnah) yang berkata bahwa Tuhan ada di mana-mana bersama manusia sebab konsep ini sama sekali tak masuk akal bagi mereka. Makin keras sanggahannya ketika menghadapi Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) yang malah menafikan adanya ruang dan waktu bagi Tuhan sebab bagi mereka hal seperti itu tidak mungkin ada.

Mereka mungkin akan mengatakan dengan lantang bahwa pikiran mereka itu berlandaskan dalil naqly dari al-Qur’an dan Hadis! Ah sudahlah... hanya anak kemarin sore yang tak tahu bahwa dalil naqly itu akan terbaca sesuai kacamata pembacanya. Ketika para Mujassimah membaca al-Qur’an, mereka melihat sosok Tuhan dalam bentuk raksasa yang luar biasa hebat.

Ketika para Teroris membaca al-Qur’an, mereka melihat Tuhan sebagai inspirator bagi jiwa perusak yang mereka miliki. Ketika para penganut pluralisme agama membaca al-Qur’an, mereka melihat Tuhan itu mengakomodir semua agama. Ketika para LGBT membaca al-Qur’an, mereka pun bisa melihat bahwa Tuhan menghargai cinta sesama jenis.

Demikian juga ketika para pembenci Islam membaca al-Qur’an, mereka akan melihat Tuhannya orang Islam ini sebagai Terroris, Rasis, Anti-Christ, dan seterusnya. Bukan al-Qur’an atau Hadisnya yang bermasalah, tapi kacamatanya yang rusak. Menyadarkan mereka ini tak mudah sebab kacamata yang kita bicarakan ini tak menempel di mata melainkan berada jauh di dalam alam bawah sadar mereka.

Meski demikian, kali ini saya akan berusaha menjelaskan bagaimana rasanya menyembah Tuhan yang wujudnya tak berada di dalam ruang terntentu sehingga dengan sendirinya juga berada di luar putaran waktu. Tentu usaha ini hanya dalam batasan makna yang dapat dijangkau sebuah kata. Pada hakikatnya, keberadaan Allah tak bisa diungkapkan dengan kata apapun.

Keberadaan-Nya lebih jelas dari apapun, lebih nyata dari apapun dan lebih kuat getarannya dalam hati dari rasa apapun tetapi dalam waktu yang sama Dia lebih misterius dari apapun. Maha Suci Allah dari segala batasan sifat yang dapat digambarkan atau dilukiskan oleh keterbatasan manusia.

  1. Dengan meyakini bahwa Tuhan tak bertempat, rasanya kita sedang berhadapan dengan kekuatan yang tak terbatas apapun, yang keberadaannya sepenuhnya tak tergantung pada apapun (فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ, Allah Maha Tak butuh dari selain diri-Nya) termasuk ruang dan waktu sekalipun. Dia ada tanpa sekat jarak, sekat arah, sekat ruang, sekat batasan fisikal. Kita hanya akan tenggelam dalam pesona kebesaran-Nya, kehebatan-Nya, kekuasaan-Nya, kedekatan-Nya, pengawasan-Nya tanpa batasan apapun yang mengganggu pikiran.
  2. Ketika kita shalat menghadapnya, kita bisa merasa bahwa Dia ada bersama kita (وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ, Dia bersama kalian di manapun kalian berada) dan mengetahui semua gerakan badan dan hati kita (يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ , Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kalian tampakkan dan kalian sembunyikan. Allah Maha mengetahui isi hati) tanpa pernah terbesit di pikiran bahwa Dia ada di atas dan sedang melihat dari arah kepala kita saja.
  3. Ketika kita sujud, kita bisa menghayati betul sabda Rasul bahwa kita sedang dalam posisi terdekat kita dengan Allah () tanpa terganggu dengan pikiran "dekat gimana lah wong Tuhan kan melihat dari jauh di atas sana?" atau pikiran "jangan-jangan Tuhan nempel di lantai nih".
  4. Ketika kita menghadap ke arah manapun, kita akan merasa bahwa kita sedang menghadap "wajah"-Nya (فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ, ke manapun kalian menghadap maka di sanalah "wajah" Allah) tanpa terganggu pikiran bahwa Dia hanya ada di arah tertentu saja sehingga kita dapat berpaling menyembunyikan wajah kita dari-Nya.
  5. Ketika kita bermunajad sendirian di tengah belantara antah berantah, kita dengan mantap meyakini bahwa kita tak perlu berteriak memanggil-Nya sebab kita tahu bahwa Dia selalu mendengar dengan amat jelas di manapun (وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ, ketika hamba-Ku menanyakan tentang-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku menjawab panggilang orang yang memanggilku) tanpa pernah terbesit pikiran bahwa kita sendirian.
  6. Ketika kita menaiki kuda atau kendaraan apapun, kita bisa dengan mudah menyadari bahwa Tuhan lebih dekat kepada kita daripada ujung depan kendaraan kita sendiri (وَالَّذِي تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَةِ أَحَدِكُمْ, Tuhan yang kalian sembah lebih dekat pada kalian daripada leher hewan tunggangan kalian).
  7. Ketika kita melihat ke atas sana, melihat jauh ke batas terluar galaksi kita hingga ke milyaran galaksi lain yang kini bisa dijangkau teleskop manusia, kita akan melihat kekuasaan Tuhan mencakup seluruh jagad raya bahkan Arasy sekalipun (وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ, Dia Maha berkuasa penuh atas hamba-hambanya; الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى, Yang Maha Pengasih istawa atas Arasy) tanpa sedikitpun merasa kontradiktif dengan kesadaran bahwa kita dapat merasakan-Nya di dekat kita bersama kita setiap waktu, baik kita di sedang di ruang terdalam planet ini atau sedang menjelajah di luar angkasa sana bersama para astronout.
  8. Ketika kita berada di dasar lembah atau di lantas dasar gedung pencakar langit, kita tak perlu merasa lebih jauh dari Tuhan dibanding mereka yang berdiri di puncak gunung atau berada di lantas atas kita seperti yang dibayangkan Utsman ad-Darimy dalam kitabnya yang sangat direkomendasikan oleh Ibnu Taymiyah itu.
  9. Ketika ada orang bertanya bagaimana bisa Tuhan ada di atas sekaligus bersama kita? Kita tak perlu repot mencontohkan keberadaan Tuhan seperti matahari/bulan yang ada di atas tapi sekaligus ikut kemanapun langkah kita, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taymiyah, sebab orang itu akan menggugat keheranan "bukankah matahari/bulan itu jauh? Apakah bisa dibilang Tuhan itu jauh juga?".
  10. Kita pun tak perlu repot berapologetik tentang fitrah seolah memahami tempat Tuhan di atas sana memang fitrah manusia sebab itu tak realistis. Yang benar itu adalah "fitrahnya" para Mujassimah dari berbagai agama saja (Ingat bahwa Mujassimah tak hanya islam) . Adapun "fitrahnya" para Jahmiyah adalah menganggap Tuhan di mana-mana. Lain lagi dengan "fitrahnya" ateis yang menganggap Tuhan sama sekali tak ada. Ketika bangun tidur, ketika senang, ketika susah, ketika apapun juga semua pihak ini akan merujuk pada "fitrahnya" masing-masing. Ini realitanya. Saya sengaja menulis kata fitrah dalam tanda kutip sebab yang demikian itu bukanlah fitrah yang sesungguhnya. Fitrah manusia yang asli adalah meyakini adanya Tuhan tetapi bersih polos dari keyakinan tambahan apapun tentangnya. Lingkungannyalah yang membentuk berbagai keyakinan tambahan tersebut belakangan.
  11. Kita pun akan terbebas dari pertanyaan kontradiksi yang ditujukan pada kaum Jahmiyah "Firman Allah yang mana atau hadis Nabi yang mana yang membuat anda mentakwil semua nash yang mengatakan bahwa Allah berada di atas tetapi memahami semua nash yang mengatakan bahwa Allah berada di bawah sesuai hakikatnya?". Di saat yang sama kita juga akan terbebas dari pertanyaan kontradiksi yang ditujukan pada kaum Mujassimah "Firman Allah yang mana atau hadis Nabi yang mana yang membuat anda mentakwil semua nash yang mengatakan bahwa Allah berada di bumi tetapi memahami semua nash yang mengatakan bahwa Allah berada di langit sesuai hakikatnya?". Kita juga tak perlu repot ngeles muter-muter tak jelas atau bersembunyi di balik kata "pokoknya" dan "diam saja jangan banyak tanya" ketika ada yang jeli melihat bahwa pemahaman kedua aliran di atas semuanya hanya akal-akalan tanpa satu pun dasar dari al-Qur'an dan hadis yang menjelaskan perilaku tidak objektif ini. Bila anda adalah tipe pembaca kritis, maka silakan baca saja kitab Bisyr al-Marisi yang mengklaim bahwa Allah berada di bumi bersama manusia serta menganggap bodoh siapapun yang mengatakan bahwa Dia berada di langit. Jangan lupa baca juga kitabnya Utsman bin Sa'id ad-Darimy (bukan Abu Muhammad ad-Darimy, ulama pakar hadis yang mengarang Sunan ad-Darimy itu) yang ngotot mengatakan sebaliknya. Mungkin anda akan terhibur membaca perang ayat dan hadis antar keduanya, hanya saja ayat dan hadis yang dibaca dari kacamata berlawanan.
  12. Kita tak perlu juga bertindak konyol seperti Fir'aun ketika mengingkari keberadaan Tuhannya Nabi Musa. Ketika raja konyol penganut paham materialisme itu melihat Tuhannya Nabi Musa tak terlihat ada di sekitarnya dan bahkan di tempat manapun di bumi, maka dia berkesimpulan bahwa Tuhannya itu pasti nogkrong di langit sehingga dia membangun bangunan sangat tinggi sebagai pembuktian. Dengan kekonyolan itu, Fir'aun berusaha membuktikan pada masyarakatnya bahwa Nabi Musa berbohong mengenai keberadaan Tuhan. Tapi ada yang lebih konyol dari Fir'aun, yaitu orang yang berhujjah dengan kekonyolan Fir'aun itu untuk membela keyakinannya bahwa Allah memang benar-benar bertempat di atas , sama persis dengan yang dikira Fir'aun.
  13. Semua pertanyaan yang mungkin terbesit dalam hati dan bahkan diperdebatkan sepanjang sejarah manusia semisal: Bagaimana bisa Tuhan mengetahui segala kejadian yang terjadi di ujung dunia manapun?. Bagaimana bisa Tuhan mengetahui masa lalu, masa kini dan masa depan?. Bagaimana bisa Tuhan mengetahui apa yang berada dalam hati? Bagaimana bisa secara bersamaan Dia digambarkan di atas Arasy, sekaligus bersama kita, sekaligus lebih dekat dari urat leher, sekaligus berada di manapun kita menghadap, sekaligus di langit dunia tiap akhir malam (yang berarti setiap saat sebab tiap detik selalu ada wilayah yang mengalami akhir malam), sekaligus menjadi pihak keempat dari tiga orang yang sedang menjalin kerja sama? Semua pertanyaan itu akan mudah terjawab bila tahu bahwa Allah tak bertempat sehingga ungkapan-ungkapan di atas sama sekali tak relevan lagi dipertanyakan. Semua keheranan di atas hanya timbul dari mereka yang berpikiran materialisme yang membayangkan Tuhan berwujud materi sehingga pasti mempunyai batasan-batasan. Mentakwil sebagian ungkapan itu tetapi menetapkan sebagian lainnya secara harfiah sama sekali tak menyelesaikan masalah malah justru menambahnya.
Kalau anda mendengar ada yang berkata: "Ah itu berlebihan . Saya meyakini Tuhan ada di atas langit sana tapi tak pernah terganggu dengan pikiran-pikiran sesat seperti di atas itu", maka harap beritahu dia agar jangan terterburu-buru mengkritik saya sebab bisa saja dia memang tak punya pikiran atau punya tapi tak pernah dipakai untuk mengenal Tuhan secara layak (أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ).

Tak perlu juga mengutip pernyataan siapapun untuk mendukung kacamatanya yang terbatas itu sebab yang dapat ia kutip takkan selengkap yang sudah dilakukan Utsman ad-Darimy atau Ibnu Taymiyah yang memujinya setinggi langit.

Meskipun kutipan mereka lengkap hingga berjilid-jilid, tapi semuanya hanya dari kacamata parsial yang hanya cocok bagi mereka yang berwawasan parsial pula; yang akalnya selalu dibonsai dengan doktrin "pokoknya beriman saja tanpa banyak tanya" seperti doktrin yang dilakukan para musyrikin penyembah berhala pada anak-anak dan murid-muridnya supaya bertaklid buta menyembah berhala pula. Kalau mau lihat pembahasan tebal dengan serangkaian pembuktian yang banyak tetapi sejatinya parsial dan jauh dari kata holistik-komprehensif, maka lihat saja kaum bumi datar dengan semua hujjahnya. Anda akan paham apa yang saya maksud dengan kacamata itu.

Semua kesan hebat tentang Tuhan itu terjadi sebab konsep ruang dan waktu sudah sama sekali tak relevan bagi Tuhan. Tak ada lagi arah dan tak ada lagi jarak yang membatasi antara Tuhan dan hamba-Nya. Bagi kita, alam semesta ini sedang berjalan sehingga kita mengenal konsep masa lalu, masa kini dan masa depan. Namun bagi Tuhan, konsep ini sama sekali tak relevan sebab Dia berada di luar semua itu. Kalau mau dibuat perumpamaan sederhana, anggap saja kita beserta seluruh kejadian di jagad raya ini sebagai piringan kaset VCD yang sedang diputar.

Bagi kita yang berada dalam kaset seolah ada ruang dan waktu yang sedang berjalan secara misterius tanpa kita tahu ujungnya serta ada pertimbangan-pertimbangan dan ikhtiar yang tak tahu akan berakibat seperti apa nanti.

Tetapi bagi sutradara yang merekam adegan dalam kaset itu dan sedang menontonnya, tampilan di menit pertama atau menit terakhir sama saja, adegan di rumah, di taman atau di luar negeri sama saja, semuanya telah menjadi pengetahuannya yang sempurna yang ia rekam dalam piringan kaset dan jarak maupun waktu yang ada di kaset itu sama sekali tak relevan bagi sang sutradara. Allahjuga merekam semua kejadian di jagad raya tanpa tersisa satu pun detail terkecil

 (وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ)

dan pena penulisan takdir itu pun sudah berhenti dan mengering (جَفَّ القَلَمُ بِمَا أَنْتَ لاَقٍ) sehingga semua ruang dan waktu yang kita alami ini jangan dibayangkan berlaku juga untuk Tuhan.

Namun perlu diingat bahwa contoh kaset ini hanya gambaran untuk mempermudah saja, bukan hal yang sebenarnya sebab ada beberapa detail yang berbeda dan tak bisa disamakan dengan apapun.

Dengan menyucikan Allah dari sifat jismiah (materialisme) dan meyakininya berada di luar ruang dak waktu, hampir semua pertanyaan rumit terpecahkan dengan mudah sehingga hati ini semakin mantap mengagungkan Allah, makin khusyuk dalam menyembah-Nya dan makin mudah mengingat-Nya di manapun dalam kondisi apapun.

Tingkatan muraqabah yang dalam dunia sufi adalah tingkatan tinggi bukan lagi hal yang sangat sulit dilakukan bila mau melakukan riyadlah hati. Demikianlah yang dilakukan para ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah yang apabila dikutip, maka terlalu banyak jumlahnya.

Wallahu a'lam dan semoga bermanfaat.

Oleh: Abdul Wahab Ahmad


EmoticonEmoticon